Mengenal PLTSa: Sistem Penghasil Energi dan Pengelola Sampah
Mengenal PLTSa: Sistem Penghasil Energi dan Pengelola Sampah |
Masalah sampah memang hal yang serius untuk diperbincangkan. Beragam dampak yang ditimbulkan dari penyebaran sampah, baik organik maupun anorganik, kian tak terelakan. Indonesia dengan kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan sampah yang dihasilkan pun tak sedikit. Bagaimana tidak, negara dengan populasi penduduk lebih dari 260 juta ini menghasilkan sekitar 66 hingga 67 juta ton sampah pada tahun 2019. Untuk sampah plastik sendiri, Indonesia menjadi penyumbang terbesar kedua di dunia. Lantas, bagaimana pemerintah mengakali masalah sampah yang kian bertambah setiap tahunnya?
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia adalah dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). PLTSa merupakan sebuah pembangkit listrik yang menggunakan sampah sebagai bahan utamanya, baik menggunakan sampah organik maupun sampah anorganik. PLTSa termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sementara itu, implementasi PLTSa diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Selain itu, pengelolaan sampah juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia adalah dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). PLTSa merupakan sebuah pembangkit listrik yang menggunakan sampah sebagai bahan utamanya, baik menggunakan sampah organik maupun sampah anorganik. PLTSa termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sementara itu, implementasi PLTSa diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Selain itu, pengelolaan sampah juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah.
Pertumbuhan penduduk, didukung dengan gaya hidup yang konsumtif, menyebabkan sampah yang dihasilkan pun kian banyak dan beragam. Oleh karena itu, di satu sisi PLTSa dapat menjadi sebuah peluang dan solusi dalam mengatasi permasalahan sampah yang ada di Indonesia, khususnya di kota-kota besar dan metropolitan.
PLTSa dianggap sebagai sebuah proyek teknologi pengolah sampah yang ramah lingkungan dan dinilai bisa mengatasi permasalahan karena mampu mengurangi timbunan sampah dalam jumlah signifikan dan waktu yang relatif cepat. PLTSa juga termasuk ke dalam pembangkit listrik yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT), sehingga PLTSa dapat turut mengurangi ketergantungan akan energi fosil serta mendukung upaya konservasi energi. Selain itu, dalam jangka panjang, PLTSa juga dinilai mampu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan sampah yang dilakukan. Hal ini dikarenakan sisa dari sampah organik yang ditimbun sebelumnya menghasilkan gas metana (CH4) yang merupakan gas rumah kaca, sehingga proyek PLTSa dimungkinkan untuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut.
Di sisi lain, PLTSa juga menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangannya serta menuai berbagai reaksi sosial dari masyarakat. Tantangan yang dihadapi ialah ketidakseragaman pemberian Biaya Layanan Pengolah Sampah (BPLS) pada tiap daerah, minimnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kebersihan dan pengelolaan sampah, serta tingginya modal awal. Pembiayaan dalam PLTSa harus sangat diperhitungkan karena proyek PLTSa ini mencakup dua komponen, yaitu pengolahan sampah dan pembangkit listrik. Sebagai contoh, biaya pre-treatment dibutuhkan jika pemilahan antara sampah organik dan anorganik pada sumbernya belum dilakukan.
Masalah lainnya yaitu banyaknya sampah rumah tangga di Indonesia yang bersifat basah, dengan nilai kalori yang rendah, sehingga harus diberikan perlakuan khusus untuk mengatasi masalah tersebut. Cara untuk mengatasinya yaitu dengan mengeringkan sampah basah terlebih dahulu dan melakukan proses pemampatan sebelum proses pembakaran dilakukan.
Sementara itu, reaksi sosial yang umumnya terjadi ialah penolakan dari masyarakat yang khawatir apabila PLTSa ini justru mencemari lingkungan akibat emisi gas berbahaya, bau, maupun air limbah yang dikeluarkan dari PLTSa tersebut. Penolakan juga muncul karena kekhawatiran bahwasanya PLTSa ini bisa memutus roda perekonomian masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sampah yang ada di TPA.
Jika ditinjau lebih lanjut, tidak semua aspek dalam pembangkit listrik jenis ini bersifat menguntungkan. Beberapa kendala justru terjadi seiring dengan proses pengoperasiannya. Proses pembakaran itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari lepasnya bahan berbahaya yang dapat mencemari udara serta dihasilkannya sisa abu pembakaran yang berbahaya bagi lingkungan. Lantas, bagaimana upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini?
Dalam proses pembakaran sampah yang dilakukan, teknologi pembakaran yang digunakan harus efektif dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Polutan yang lepas ke udara juga akan dikendalikan dengan dilakukannya penyaringan mendalam agar asap yang lepas ke udara sesuai dengan standar baku mutu emisi gas buangan.
Sisa lain dari pembakaran sampah yaitu abu yang tergolong dalam limbah bahan berbahaya dan racun (B3). Oleh karena residu tersebut dianggap berbahaya, maka daur ulang harus dilakukan.. Abu hasil pembakaran dapat diolah menjadi berbagai bahan bangunan seperti batako.
Di sisi lain, PLTSa juga menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangannya serta menuai berbagai reaksi sosial dari masyarakat. Tantangan yang dihadapi ialah ketidakseragaman pemberian Biaya Layanan Pengolah Sampah (BPLS) pada tiap daerah, minimnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kebersihan dan pengelolaan sampah, serta tingginya modal awal. Pembiayaan dalam PLTSa harus sangat diperhitungkan karena proyek PLTSa ini mencakup dua komponen, yaitu pengolahan sampah dan pembangkit listrik. Sebagai contoh, biaya pre-treatment dibutuhkan jika pemilahan antara sampah organik dan anorganik pada sumbernya belum dilakukan.
Masalah lainnya yaitu banyaknya sampah rumah tangga di Indonesia yang bersifat basah, dengan nilai kalori yang rendah, sehingga harus diberikan perlakuan khusus untuk mengatasi masalah tersebut. Cara untuk mengatasinya yaitu dengan mengeringkan sampah basah terlebih dahulu dan melakukan proses pemampatan sebelum proses pembakaran dilakukan.
Sementara itu, reaksi sosial yang umumnya terjadi ialah penolakan dari masyarakat yang khawatir apabila PLTSa ini justru mencemari lingkungan akibat emisi gas berbahaya, bau, maupun air limbah yang dikeluarkan dari PLTSa tersebut. Penolakan juga muncul karena kekhawatiran bahwasanya PLTSa ini bisa memutus roda perekonomian masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sampah yang ada di TPA.
Jika ditinjau lebih lanjut, tidak semua aspek dalam pembangkit listrik jenis ini bersifat menguntungkan. Beberapa kendala justru terjadi seiring dengan proses pengoperasiannya. Proses pembakaran itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari lepasnya bahan berbahaya yang dapat mencemari udara serta dihasilkannya sisa abu pembakaran yang berbahaya bagi lingkungan. Lantas, bagaimana upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini?
Dalam proses pembakaran sampah yang dilakukan, teknologi pembakaran yang digunakan harus efektif dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Polutan yang lepas ke udara juga akan dikendalikan dengan dilakukannya penyaringan mendalam agar asap yang lepas ke udara sesuai dengan standar baku mutu emisi gas buangan.
Sisa lain dari pembakaran sampah yaitu abu yang tergolong dalam limbah bahan berbahaya dan racun (B3). Oleh karena residu tersebut dianggap berbahaya, maka daur ulang harus dilakukan.. Abu hasil pembakaran dapat diolah menjadi berbagai bahan bangunan seperti batako.
PLTSa akan semakin banyak dibangun di Indonesia. Sudah ada beberapa PLTSa yang dibangun, salah satunya adalah PLTSa di Semarang yang mengelola sampah dari TPA terbesar di Jawa Tengah Di Surabaya juga telah dibangun PLTSa berkapasitas 9 MW yang bernama PLTSa Benowo. Pembangkit listrik ini diharapkan mampu menjadi solusi mengenai permasalahan sampah yang terdapat di Kota Pahlawan tersebut. Sejak 2019 hingga 2022, pemerintah sedang melaksanakan pembangunan PLTSa di 12 kota di Indonesia. Dengan adanya pembangunan tersebut diharapkan Indonesia dapat mengatasi keterbatasan listrik yang ada, sehingga peringkat Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sampah terbesar di dunia dapat turun.
Segala upaya pengelolaan sampah memang terus dilakukan oleh pemerintah. Proses pengelolaan sampah dengan cara membangun PLTSa menjadi salah satu solusi efektif untuk mengatasi masalah pengelolaan sampah tersebut. Namun, memang betul bahwa eksistensi dari pembangkit listrik jenis ini belum sebanyak pembangkit listrik jenis lain karena beberapa kendala yang dimilikinya. Semoga kedepannya pemerintah dapat semakin mampu untuk membangun sumber energi listrik berwawasan lingkungan sebagai upaya penghematan energi dari fosil yang semakin lama semakin langka, sekaligus sebagai solusi untuk mengurangi penumpukan sampah yang ada.
Buka juga :
Post a Comment for "Mengenal PLTSa: Sistem Penghasil Energi dan Pengelola Sampah"
Silahkan berkomentar disini