Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah |
Peresmian PLTSa Bantargebang,
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) terus dikebut pembangunannya. Dari 12 PLTSa yang direncanakan, 4 pembangkit telah dan siap beroperasi pada tahun ini hingga 2022 mendatang, dan akan menjadi pilot project di Indonesia. Keempat PLTSa tersebut terletak di DKI Jakarta, Bekasi, Solo, dan Surabaya. PLTSa akan menghasilkan tenaga listrik, dan akan disalurkan ke jaringan milik PLN.
Jika dihitung secara keseluruhan, total daya listrik yang dapat dihasilkan dari 12 PLTSa tersebut adalah 234 MW. Dari PLTSa yang beroperasi, setidaknya bisa mengolah sampah sebanyak 16 ribu ton per hari.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2018 tentang percepatan program pembangunan PLTSa. Dalam Pasal 6 ayat 1 Perpres tersebut dijelaskan bahwa pemda dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau melakukan kompetisi Badan Usaha. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat juga ikut berpartisipasi lewat penugasan dari Menteri ESDM atas usulan gubernur atau wali kota.
Adapun pendanaan untuk percepatan pembangunan PLTSa berdasarkan Pasal 14 dan 15 Perpres tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendanaan yang bersumber dari APBN digunakan untuk bantuan layanan pengelolaan sampah kepada Pemerintah Daerah, yang besarnya paling tinggi Rp 500 ribu per ton sampah.
PLTSa di DKI Jakarta
Berdasarkan data dari Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, volume sampah per hari DKI Jakarta 2.200 ton, dan diperkirakan memiliki potensi daya sebesar 35 MW. Adapun pengembang untuk PLTSa ini adalah PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Fortum Power and Heat Oy milik Finlandia. PLTSa yang terdapat di DKI Jakarta ini bernilai investasi sekitar 345,8 juta dolar AS.
PLTSa di Bekasi
PLTSa Bantar Gebang di Bekasi ini mampu menghasilkan listrik sebanyak 700 kWh, dengan kapasitas pengolahan sampah sebanyak 100 ton per hari. Diperkirakan akan menghasilkan listrik sebesar 9 MW. Secara keseluruhan, kapasitas tempat pembuangan sampah mencapai 49 juta ton dengan total luas lahan 110 hektar. Pengembang untuk PLTSa ini adalah PT Nusa Wijaya Abadi. PLTSa di Bekasi ini memiliki nilai investasi sebesar 120 juta dolar AS.
PLTSa di Solo
Proyek pembangunan PLTSa TPA Putri Cempo Solo diharapkan dapat mengolah 450 ton sampah per hari untuk dapat menghasilkan listrik berkapasitas 10 MW. Adapun jangka waktu kontrak akan berlangsung selama 20 tahun dengan nilai investasi sebesar 40 juta dolar AS. Proyek ini akan siap beroperasi pada 2020.
PLTSa di Surabaya
Menurut Wali Kota Tri Risma Harini, pembangunan fisik PLTSa di Surabaya telah mencapai progres sekitar 80%. PLTSa yang terletak di Kecamatan Benowo ini telah dibangun pada 2013. Menempati lahan seluas 37,4 hektar, lahan tersebut mampu menampung sampah sebanyak 539.343 ton pada 2015. PLTSa ini akan berpotensi mengalirkan listrik sebesar 10 MW, dengan nilai investasi sebesar 49,86 juta dolar AS.
***
Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai perbandingan, berat (ton) batu bara dengan sampah adalah 1 berbanding 10. Artinya, selain mengurangi masalah polusi akibat bahan bakar fosil, juga dapat menghemat devisa negara.
Adapun sisi negatif dari teknologi ini, pembuangan (residu) kimia yang dihasilkan --antara lain merkuri, arsen, cadmium, dioksin, dan furan-- merupakan limbah B3 yang keluar dari incinerator (pembakaran). Dalam hal ini, perlu adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk dapat mengetahui dampak-dampak yang dapat terjadi di lingkungan sekitar.
Negara yang telah sukses dalam mendaur ulang sampah menjadi tenaga listrik salah satunya Swedia. Mereka membutuhkan sekitar 2 juta ton sampah setiap tahun untuk menjalankan PLTSa. Swedia telah menerapkan program waste to energy dan mengoptimalkan fungsi sampah menjadi tenaga listrik. Dan untuk menutupi kekurangan akan bahan bakar sampah tersebut, mereka harus mengimport sekitar 700 ribu ton sampah dari negara lain, termasuk dari Norwegia.
Meningkatnya sampah tidak terlepas dari pertumbuhan urbanisasi di Indonesia. Menurut data Menteri Keuangan Sri Mulyani, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia saat ini mencapai 4,1 persen per tahun. Sehingga dapat diprediksi bahwa pada 2025 akan terdapat sekitar 68% penduduk Indonesia tinggal di kota besar. Peningkatan populasi penduduk di kota otomatis juga meningkatkan produksi sampah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 sampai dengan 2018, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia mulai mengalami kenaikan, dengan angka terakhir telah mencapai 71,39%. Akankah IPM tersebut berbanding lurus dengan cara manusia dalam membuang sampah?
Sebagai manusia yang berbudaya, sudah seharusnya membuang sampah di tempat yang telah ditentukan, semisal di TPS. Dari TPS yang telah ditentukan, kemudian akan dikirimkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di daerah masing-masing, untuk kemudian digunakan sebagai pasokan listrik.
Ananto Hayuningrat akademisi dan konsultan proyek
Jika dihitung secara keseluruhan, total daya listrik yang dapat dihasilkan dari 12 PLTSa tersebut adalah 234 MW. Dari PLTSa yang beroperasi, setidaknya bisa mengolah sampah sebanyak 16 ribu ton per hari.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2018 tentang percepatan program pembangunan PLTSa. Dalam Pasal 6 ayat 1 Perpres tersebut dijelaskan bahwa pemda dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau melakukan kompetisi Badan Usaha. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat juga ikut berpartisipasi lewat penugasan dari Menteri ESDM atas usulan gubernur atau wali kota.
Adapun pendanaan untuk percepatan pembangunan PLTSa berdasarkan Pasal 14 dan 15 Perpres tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendanaan yang bersumber dari APBN digunakan untuk bantuan layanan pengelolaan sampah kepada Pemerintah Daerah, yang besarnya paling tinggi Rp 500 ribu per ton sampah.
PLTSa di DKI Jakarta
Berdasarkan data dari Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, volume sampah per hari DKI Jakarta 2.200 ton, dan diperkirakan memiliki potensi daya sebesar 35 MW. Adapun pengembang untuk PLTSa ini adalah PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Fortum Power and Heat Oy milik Finlandia. PLTSa yang terdapat di DKI Jakarta ini bernilai investasi sekitar 345,8 juta dolar AS.
PLTSa di Bekasi
PLTSa Bantar Gebang di Bekasi ini mampu menghasilkan listrik sebanyak 700 kWh, dengan kapasitas pengolahan sampah sebanyak 100 ton per hari. Diperkirakan akan menghasilkan listrik sebesar 9 MW. Secara keseluruhan, kapasitas tempat pembuangan sampah mencapai 49 juta ton dengan total luas lahan 110 hektar. Pengembang untuk PLTSa ini adalah PT Nusa Wijaya Abadi. PLTSa di Bekasi ini memiliki nilai investasi sebesar 120 juta dolar AS.
PLTSa di Solo
Proyek pembangunan PLTSa TPA Putri Cempo Solo diharapkan dapat mengolah 450 ton sampah per hari untuk dapat menghasilkan listrik berkapasitas 10 MW. Adapun jangka waktu kontrak akan berlangsung selama 20 tahun dengan nilai investasi sebesar 40 juta dolar AS. Proyek ini akan siap beroperasi pada 2020.
PLTSa di Surabaya
Menurut Wali Kota Tri Risma Harini, pembangunan fisik PLTSa di Surabaya telah mencapai progres sekitar 80%. PLTSa yang terletak di Kecamatan Benowo ini telah dibangun pada 2013. Menempati lahan seluas 37,4 hektar, lahan tersebut mampu menampung sampah sebanyak 539.343 ton pada 2015. PLTSa ini akan berpotensi mengalirkan listrik sebesar 10 MW, dengan nilai investasi sebesar 49,86 juta dolar AS.
***
Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai perbandingan, berat (ton) batu bara dengan sampah adalah 1 berbanding 10. Artinya, selain mengurangi masalah polusi akibat bahan bakar fosil, juga dapat menghemat devisa negara.
Adapun sisi negatif dari teknologi ini, pembuangan (residu) kimia yang dihasilkan --antara lain merkuri, arsen, cadmium, dioksin, dan furan-- merupakan limbah B3 yang keluar dari incinerator (pembakaran). Dalam hal ini, perlu adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk dapat mengetahui dampak-dampak yang dapat terjadi di lingkungan sekitar.
Negara yang telah sukses dalam mendaur ulang sampah menjadi tenaga listrik salah satunya Swedia. Mereka membutuhkan sekitar 2 juta ton sampah setiap tahun untuk menjalankan PLTSa. Swedia telah menerapkan program waste to energy dan mengoptimalkan fungsi sampah menjadi tenaga listrik. Dan untuk menutupi kekurangan akan bahan bakar sampah tersebut, mereka harus mengimport sekitar 700 ribu ton sampah dari negara lain, termasuk dari Norwegia.
Meningkatnya sampah tidak terlepas dari pertumbuhan urbanisasi di Indonesia. Menurut data Menteri Keuangan Sri Mulyani, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia saat ini mencapai 4,1 persen per tahun. Sehingga dapat diprediksi bahwa pada 2025 akan terdapat sekitar 68% penduduk Indonesia tinggal di kota besar. Peningkatan populasi penduduk di kota otomatis juga meningkatkan produksi sampah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 sampai dengan 2018, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia mulai mengalami kenaikan, dengan angka terakhir telah mencapai 71,39%. Akankah IPM tersebut berbanding lurus dengan cara manusia dalam membuang sampah?
Sebagai manusia yang berbudaya, sudah seharusnya membuang sampah di tempat yang telah ditentukan, semisal di TPS. Dari TPS yang telah ditentukan, kemudian akan dikirimkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di daerah masing-masing, untuk kemudian digunakan sebagai pasokan listrik.
Ananto Hayuningrat akademisi dan konsultan proyek
Buka juga :
Post a Comment for "Pembangkit Listrik Tenaga Sampah"
Silahkan berkomentar disini