Senjata Nuklir
Senjata Nuklir
[Seluruh tulisan dalam blog ini bertujuan untuk menyebarluaskan informasi mengenai ilmu dan teknologi nuklir untuk kepentingan DAMAI semata, tidak untuk kepentingan militer maupun perang. Saya sama sekali tidak ada niat ataupun berusaha untuk mendapatkan, mempelajari dan menyebarluaskan iptek nuklir untuk tujuan selain damai dan saya tidak bertanggung jawab terhadap tindakan pembaca yang berusaha untuk mendapatkan, mempelajari dan menyebarluaskan informasi tentang iptek nuklir untuk tujuan yang berbeda.]
Apa yang ada di pikiran Anda jika mendengar kata nuklir? Saya yakin
sebagian besar akan menjawab: Hiroshima & Nagasaki, Chernobyl, Fukushima.
Memang energi nuklir diperkenalkan pertama kali ke khalayak ramai dalam bentuk
ledakan bom yang merenggut banyak jiwa sehingga memberikan kesan yang negatif. Demikian
pula dengan kecelakaan Chernobyl di tahun 1986 yang dampaknya cukup luas serta
kejadian di Fukushima di bulan Maret yang lalu. Semuanya memberikan stigma
terhadap pemanfaatan teknologi nuklir. Akan tetapi jika energi nuklir sedemikan
membahayakan, mengapa banyak negara masih memanfaatkannya? Mungkinkah reaktor
nuklir yang saat ini beroperasi pada suatu waktu kelak akan meledak seperti
halnya bom atom? Tentunya pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak dapat dijawab
hanya dengan satu halaman blog ini saja. Justru keberadaan blog ini adalah
untuk membantu pembaca sehingga mendapatkan jawaban melalui serangkaian tulisan
yang saya coba sampaikan.
Karena perkenalan pertama kali antara khalayak ramai dengan teknologi nuklir adalah melalui bom atom (atau lebih tepatnya adalah bom nuklir), maka saya juga akan mengawali tulisan di sini dengan cerita tentang bom atom. Tapi ingat, seperti yang telah saya tulis di disclaimer di atas bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan informasi yang tidak bertujuan damai. Tulisan ini hanya sebagai titik awal untuk membandingkan antara bom atom dengan reaktor nuklir.
Bom atom pertama kali diledakkan di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945. Bom yang berjulukan “Little Boy” ini berisi uranium. Tiga hari kemudian, yaitu tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua diledakkan di Nagasaki. Berbeda dengan Little Boy, bom berjulukan “Fat Man” ini berisi plutonium. Prinsip kerja dari kedua bom ini adalah pembebasan energi secara cepat dari reaksi fisi atau pembelahan inti atom. Selain bom yang menggunakan reaksi fisi, ada pula senjata nuklir yang menggunakan reaksi fusi atau penggabungan inti nuklir. Senjata semacam ini disebut dengan senjata termonuklir atau disebut pula dengan bom hidrogen (bom H).
Pada dasarnya reaksi fisi dan fusi yang ada pada senjata nuklir sama dengan yang terjadi pada reaktor nuklir, akan tetapi ada perbedaan utama yaitu pada material yang digunakan, teknologi yang diperlukan, desain dan pengendaliannya. Sebagai analogi, bandingkan antara api dengan ledakan bahan kimia seperti dinamit. Sama-sama reaksi dengan oksigen, akan tetapi energi yang dilepaskan pada api pembakaran berlangsung secara bertahap dalam waktu tertentu. Api bisa berbahaya jika tidak dikendalikan. Sebaliknya peledak memang didesain berbeda. Material yang digunakan memang sejak awal dirancang agar dapat melepaskan energi dalam waktu yang singkat untuk menghasilkan gelombang kejut atau shockwave. Perbandingan semacam ini berlaku juga untuk energi nuklir.
Senjata fisi nuklir mengandalkan reaksi berantai yang berlangsung sangat cepat pada material fisil (seperti uranium-235, plutonium-239 atau uranium-233) dengan kemurnian tinggi. Setiap inti atom dari material tersebut (selanjutnya kita sebut bahan bakar) akan melepaskan dua atau tiga neutron ketika membelah. Masing-masing neutron tersebut mempunyai kemungkinan yang besar untuk menyebabkan fisi pada inti atom yang lain, sehingga akan dihasilkan lebih banyak lagi neutron dan juga energi. Seandainya massa dari bahan bakar terlalu sedikit atau tersebar, banyak neutron yang akan lepas dari permukaan bahan bakar sehingga tidak cukup untuk menyebabkan reaksi berantai yang berkelanjutan. Kondisi semacam ini disebut dengan subkritis. Agar menghasilkan ledakan, paling tidak dua massa subkritis harus digabung untuk menghasilkan massa di atas batas kritis (atau kondisi superkritis). Untuk itu pengaturan waktu atau timing adalah hal yang sangat krusial. Massa kritis harus digabung seutuhnya sebelum reaksi berantai berlangsung. Jika tidak, bahan bakar akan mengalami pembakaran prematur yang menyebabkan kedua massa subkritis terpental dan tidak menghasilkan ledakan yang efisien. Kondisi semacam ini dikenal dengan istilah fizzle (kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesianya mungkin kira-kira nggembos ya). Oleh karena itu timing untuk menggabungkan massa bahan bakar harus lebih cepat daripada terbentuknya reaksi berantai berkelanjutan. Persyaratan timing ini yang membatasi ukuran maksimum dari bom fisi. Jika ukurannya terlalu besar, penggabungan bahan bakar tidak bisa cepat untuk menghindari fizzle. Ada dua cara untuk melakukan penggabungan ini yaitu dengan menggunakan gun barrel dan dengan menggunakan ledakan kimia. Pada cara pertama, massa subkritis ditembakkan ke lubang pada massa subkritis yang lain. Cara ini efektif untuk uranium-235. Akan tetapi untuk plutonium-239 cara ini terlalu lambat sehingga diperlukan metode ledakan. Pada metode ini, massa subkritis dikelilingi oleh bahan peledak kimia. Untuk membentuk massa superkritis, bahan peledak tersebut harus diledakkan terlebih dahulu. Akan tetapi arah ledakannya tidak menyebar keluar, melainkan ke dalam dengan kecepatan sekitar 5000-7000 meter per detik sehingga menekan massa subkritis menjadi superkritis. Makanya istilah asli dalam bahasa Inggrisnya adalah implosion, bukan explosion.
Reaksi berantai pada massa bahan bakar kritis hanya dimulai ketika ada neutron pertama yang menyebabkan fisi. Lalu dari mana neutron pertama ini berasal? Kemungkinan pertama adalah dari reaksi fisi spontan alami (kita akan membahas tentang reaksi fisi ini di tulisan-tulisan yang akan datang). Akan tetapi jika berasal dari reaksi fisi spontan alami, timing-nya akan bersifat acak dan jika tingkat keacakannya cukup tinggi, reaksi berantai akan berlangsung terlalu dini sehingga menyebabkan fizzle. Oleh karena itu sebagai gantinya digunakan sumber neutron yang dihasilkan dari mencampurkan berilium-9 dengan americium-241 pada saat yang tepat. Americium akan memancarkan radiasi alfa yang kemudian akan bereaksi dengan berilium untuk menghasilkan karbon-12 dan neutron. Neutron ini yang akan menjadi pemicu awal dari reaksi berantai pada saat yang tepat ketika penggabungan massa subkritis. Oleh karena itu bahan bakar untuk senjata nuklir harus mempunyai tingkat laju reaksi fisi dipicu oleh neutron yang tinggi, namun harus mempunyai laju reaksi fisi spontan yang rendah. Material dengan nomor massa (A) yang tinggi ternyata mempunyai laju reaksi fisi spontan yang tinggi pula. Oleh karenanya keberadaan californium-252 meskipun sedikit saja dianggap sebagai pengotor yang dapat menyebabkan fizzle. Bahkan plutonium-240 juga dapat menyebabkan fizzle kecuali jika konsentrasinya sangat rendah.
Dengan alasan tersebut di atas, untuk keperluan senjata bahan bakar harus bebas dari isotop-isotop pengotor. Bahan bakar uranium harus mengandung lebih dari 80% uranium-235 untuk menghindari serapan neutron oleh uranium-238. Uranium-238 mempunyai kecenderungan untuk menyerap neutron dan menghasilkan isotop uranium-239 yang memancarkan radiasi gamma, bukannya reaksi fisi. Untuk menghasilkan uranium-235 dengan tingkat yang tinggi, diperlukan pabrik pengolah berskala besar yang memerlukan energi yang tidak sedikit. Proses ini dikenal dengan enrichment atau pengkayaan. Di masa-masa awal pengembangan energi nuklir, metode untuk pengkayaan dilakukan dengan cara pemisahan secara difusi. Karena uranium-235 dan uranium-238 mempunyai massa atom yang hampir sama, proses pemisahannya memerlukan banyak sekali tangki pemisah. Untuk mencapai tingkat kemurnian (atau tingkat pengkayaan) sebesar 4% diperlukan sekitar 1400 tangki difusi. Untuk keperluan militer yang mensyaratkan tingkat pengkayaan di atas 80%, tentu diperlukan tangki difusi yang sangat sangat banyak. Untuk saat ini digunakan metode yang lebih efisien yaitu metode sentrifuge di mana silinder-silinder berdiamater 15 – 20 cm diputar dengan kecepatan tinggi sekitar 1000 putaran per detik. Dengan cara ini gas uranium heksaflorida akan mengalami percepatan sejuta kali percepatan gravitasi. Meskipun lebih efisien daripada metode lama, metode sentrifuge tetap memerlukan banyak sekali tabung silinder. Jadi bagi negara yang ingin membuat pabrik pengkayaan untuk keperluan senjata, pertanyaannya adalah bagaimana menyembunyikan pabrik tersebut dari sorotan mata negara tetangga maupun dari pengawasan inspektor internasional.
Bahan bakar lain yang digunakan dalam senjata nuklir adalah plutonium-239, yang ternyata juga harus dalam tingkat kemurnian tinggi, dan tidak boleh mengandung plutonium-240 lebih dari 7% untuk menghindari fizzle. Plutonium-239 diproduksi dari dalam reaktor nuklir melalui reaksi serapan neutron pada uranium-238 yang kemudian diikuti dengan dua kali peluruhan beta secara beruntun. Akan tetapi, selain dapat melakukan reaksi fisi, plutonium-239 juga mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk menangkap neutron untuk menghasilkan plutonium-240. Material ini merupakan pengotor untuk bahan bakar senjata nuklir karena mempunyai laju fisi spontan alami yang tinggi sehingga menyebabkan fizzle. Konsekuensinya agar plutonium-240 tidak terakumulasi terlalu banyak, bahan bakar pada reaktor nuklir harus sering diambil. Tentu ini merupakan kegiatan yang paling tidak efisien dalam menggunakan bahan bakar reaktor nuklir. Untuk mengekstrak 6 kg plutonium-239 diperlukan 10 ton uranium. Negara yang ingin membuat senjata nuklir berbahan bakar plutonium yang bersumber dari bahan bakar di PLTN harus meluangkan waktu cukup banyak untuk berulang kali mematikan reaktor (dan jelas tidak menghasilkan listrik) serta mengganti bahan bakar. Secara operasional, biaya yang diperlukan menjadi tinggi dan kerugian akibat tidak menghasilkan listrik juga besar. Di samping itu diperlukan juga pabrik pengolahan ulang bahan bakar untuk memisahkan plutonium dari bahan bakar yang telah dipakai di reaktor. Adanya pengisian ulang bahan bakar yang terlalu sering disertai dengan adanya pabrik pengolahan ulang bahan bakar merupakan indikasi yang kuat bahwa plutonium untuk senjata nuklir sedang dibuat. Karena di setiap reaktor selalu ada pengawasan dari tim internasional, kegiatan sembunyi-sembunyi untuk membuat senjata nuklir dapat diketahui.
Di reaktor nuklir baik itu untuk pembangkitan listrik (PLTN) maupun untuk riset, fizzle tidak relevan sehingga tidak diperlukan persyaratan weapon-grade uranium yang mengharuskan tingginya tingkat kemurnian uranium. Untuk PLTN yang saat ini beroperasi, tingkat pengkayaan uranium-235 adalah sekitar 3 sampai 5%, sementara untuk reaktor penelitian dan reaktor produksi isotop karena memerlukan neutron dengan jumlah tinggi maka tingkat pengkayaannya biasanya lebih besar namun dibatasi sampai dengan maksimum 20%.
1. Timing merupakan hal yang
krusial untuk senjata nuklir. Teknologi tinggi diperlukan untuk membuat massa
superkritis dan sumber neutron agar reaksi berantai berlangsung pada waktu yang
tepat.
2. Bahan bakar dengan
tingkat kemurnian yang tinggi diperlukan untuk menghindari fizzle.
Teknologi untuk menghasilkan bahan bakar semacam ini tidak mudah dilakukan.
3. Pada reaktor nuklir, fizzle
menjadi tidak relevan dan tidak perlu digunakan bahan bakar berpengkayaan
tinggi.
Point ketiga di atas yang akan menentukan bahwa perilaku reaktor nuklir
akan berbeda dengan senjata nuklir dan reaktor nuklir tidak akan meledak
seperti halnya senjata nuklir. Akan tetapi sebelum sampai pada kesimpulan
semacam itu, masih banyak hal yang harus dibahas terlebih dahulu sebagai
pondasi pengetahuan. Kita akan membicarakannya pada tulisan-tulisan berikutnya.
Post a Comment for "Senjata Nuklir"
Silahkan berkomentar disini